Erlass Dampingi SMA di Tangerang Wujudkan Lingkungan Aman dari Kekerasan

Penerbit Erlangga dan Erlass menggelar pelatihan di SMA Negeri 25 Kabupaten Tangerang, Senin (24/11/2025). Pelatihan ini bertema “Merdeka Belajar, Merdeka dari Bullying: Membangun Sekolah Aman”.

PUSTAKA KOTA, Tangerang – Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap kasus-kasus perundungan (bullying), SMA Negeri 25 di Kabupaten Tangerang menggelar pelatihan bertajuk “Merdeka Belajar, Merdeka dari Bullying: Membangun Sekolah Aman” pada Senin (24/11/2025).

Kegiatan ini menjadi bentuk kepedulian sekolah untuk memastikan siswa dapat belajar dengan rasa aman, setara, dan bermartabat.

Berlangsung di lapangan sekolah, ratusan siswa berseragam putih abu-abu duduk rapi mengikuti materi yang disampaikan oleh narasumber utama.

Suasana pelatihan berlangsung hangat dan komunikatif, dengan pengisi materi berdiri di tengah-tengah siswa, menyapa, berbicara, dan berdialog secara dua arah.

Senyum dan perhatian para siswa tampak menjadi penanda bahwa topik ini tidak hanya penting, tapi juga dekat dengan keseharian mereka.

Pemateri dari Erlass, Hendra Septiawan mengatakan, mencegah bullying bukan hanya tugas guru atau sekolah semata, tetapi juga tanggung jawab setiap siswa, sebagai sesama manusia.

“Bullying bisa meninggalkan luka panjang, bahkan ketika tidak tampak di mata. Yang kita bangun hari ini bukan sekadar aturan, tapi budaya saling menghargai,” ujar Indra, Senin.

Sesi tidak hanya berlangsung satu arah.

Siswa-siswa dipersilakan bertanya, bahkan berdiri dan menyampaikan pandangan.

Di sela pelatihan, terlihat ada siswa maju ke depan menyampaikan pendapat dengan berani, disimak ratusan teman lainnya.

Komitmen penerbit dan komunitas

Kegiatan ini digelar dengan dukungan Erlass dan Penerbit Erlangga.

Perwakilan Erlass, Son Haji menyampaikan, pihaknya ingin membantu sekolah-sekolah menciptakan ruang belajar yang bebas dari kekerasan, baik verbal, fisik, maupun digital.

“Kami tidak ingin siswa hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tumbuh dengan karakter, empati, dan rasa aman. Lingkungan sekolah harus menjadi tempat anak-anak merasa dihargai, bukan takut datang setiap pagi,” ujar Son.

Pelatihan seperti ini, menurutnya, tidak cukup dilakukan sekali, tetapi harus menjadi gerakan yang berkelanjutan agar perubahan budaya benar-benar terasa.

Son menegaskan pentingnya sekolah memiliki ruang dialog yang hidup, di mana siswa, guru, dan orangtua sama-sama merasa aman untuk mengungkapkan persoalan.

“Kami ingin sekolah bukan hanya memberi pengetahuan, tapi juga membangun empati dan kepekaan,” ujar perwakilan Erlass.

Ia menambahkan, pendekatan penguatan karakter tidak bisa selesai dalam satu pertemuan.

“Harus ada proses yang terus dipupuk. Jika siswa, guru, dan orang tua terlibat bersama, budaya anti-bullying itu lama-lama akan tumbuh,” ucap Son.

Pelatihan pun diakhiri dengan pesan sekolah yang aman bukan sekadar tidak adanya bullying, melainkan hadirnya budaya saling menghormati, saling menjaga, dan saling membesarkan satu sama lain sebagai sesama pelajar dan manusia. (HFZ)