Tangsel – Kinerja sektor minyak dan gas bumi (migas) dibawah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mulai menunjukkan hasil positif di tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka.
Lifting migas nasional tercatat naik signifikan dan telah melampaui asumsi target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada semester I 2025 atau mencapai rata-rata 111,9 persen.
Pengamat energi dari Gerilya Institute, Subhkan Agung Sulistio, mengatakan kenaikan lifting dari sekitar 430 ribu menjadi hampir 600 ribu barel per hari patut diapresiasi. Hal ini dinilainya sudah selaras dengan Asta Cita yang dicanangkan oleh pemerintah.
“Langkah ini menunjukkan ada perbaikan tata kelola di lapangan. Namun, untuk menjaga tren positif, pemerintah perlu membuka wilayah kerja baru dan menemukan cadangan minyak baru,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Satu Tahun Prabowo-Gibran: Sudah Berdaulatkah Kita dalam Energi?” di Bumi Serpong Damai (BSD), Senin (13/10/2025).
Subhkan menjelaskan, inovasi teknologi dan efisiensi biaya juga menjadi faktor penting dalam peningkatan produksi. “Teknologi baru membantu mengoptimalkan sumur yang sebelumnya dianggap tidak produktif. Tapi kalau kita mau jangka panjang, eksplorasi wilayah baru adalah kuncinya,” kata dia.
Salah satu kebijakan yang juga mendapat perhatian publik adalah legalisasi sumur minyak rakyat. Pemerintah memberikan izin kepada masyarakat untuk mengelola sumur-sumur tua yang sudah tidak ekonomis bagi perusahaan besar. “Itu langkah tepat. Sumur tua hasilnya kecil, jadi lebih baik diserahkan ke masyarakat. Setidaknya ini mendorong kemandirian energi di tingkat lokal,” ujar Subhkan.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Adib Miftahul, menilai capaian di sektor energi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Presiden Prabowo dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menata ulang tata kelola sumber daya alam nasional.
“Prabowo sedang melakukan reset besar-besaran terhadap tata kelola ekonomi, termasuk energi. Ia sedang menghitung ulang kekayaan negara dan memastikan tidak ada lagi kelompok rente yang bermain di tengah,” kata Adib.
Menurut Adib, sejumlah program seperti hilirisasi tambang, pembangunan smelter, hingga legalisasi sumur rakyat adalah langkah konkret menuju kedaulatan energi. Namun, kata dia, tantangan besar yang dihadapi bukan hanya pada sisi kebijakan teknis, tetapi juga pada narasi publik.
“Sering kali yang jadi masalah adalah komunikasi. Potongan-potongan video atau pernyataan di media sosial membentuk persepsi negatif, padahal arah kebijakannya baik,” ujarnya.
Hal senada disampaikan pengamat komunikasi politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang, Korry El Yana, yang menilai banyak kebijakan energi gagal dipahami masyarakat karena penyampaiannya tidak utuh. Selain itu, dia menilai maraknya narasi buzzer dan opini liar di media sosial memperburuk persepsi terhadap pemerintah. “Karena komunikasinya tidak lengkap, yang muncul justru potongan-potongan video dan komentar yang menyesatkan,” katanya.
Ia pun mendorong pemerintah membentuk satu kanal komunikasi resmi yang menjelaskan kebijakan energi secara menyeluruh dan berbasis data. “Kalau komunikasinya terbuka dan melibatkan pakar, masyarakat bisa percaya. Jangan sampai program bagus malah tenggelam karena framing negatif di media sosial,” ujarnya. (DAS)