PUSTAKA KOTA, Tangsel – Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang tidak dapat ditoleransi karena berdampak besar bagi psikis dan fisik korban.
Dengan demikian, Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan harus turut membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Oleh karena itulah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Sayangnya sebagaian kelompok masyarakat meminta Permendikbud itu dicabut. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat mengajukan Permendikbud No. 30 Tahun 2021.
Permohonan itu telah terdaftar dengan Nomor Perkara 34 P/HUM/2022 ke Mahkamah Agung. LKAAM meminta MA membatalkan Permendikbud itu dengan alasan peraturan itu multitafsir dan menjadi pintu masuk melegalkan seks bebas.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pamulang Halimah Humayrah Tuanaya meminta agar Mahkamah Agung menolak permohonan LKAAM.
“Lahirnya Permendikbud itu jelas merupakan bentuk keberpihakan negara pada banyaknya korban dari kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi” ujar Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak itu.
“Alih-alih mendapatkan dukungan publik, upaya baik dari pemerintah ini sayangnya dimaknai berbeda oleh kelompok tertentu. Kelompok itu berpendapat bahwa Permendikbud itu dapat mengarah pada pembiaran terjadinya seks bebas, aborsi, pernikahan dini hingga asumsi perumusan peraturannya yang tidak berlandaskan ajaran agama dan kultur masyarakat Indonesia” kata Halimah, yang merupakan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pamulang.
“Saya berpandangan Permohonan Uji Materil oleh LKAAM merupakan bentuk nyata kemunduran atas upaya pencegahan dan pelindungan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi untuk mendapatkan rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual” tutup Halimah.