PUSTAKA KOTA, Jakarta – Ruang digital dalam demokrasi menjadi ruang partisipasi publik di mana interaksi secara virtual seperti menyalurkan aspirasinya melalui media sosial. Namun, kebebasan menyalurkan aspirasi juga sejatinya tetap menjunjung kaidah-kaidah yang berlaku.
Kresna Dewanata Phrosakh, Anggota Komisi I DPR RI mengatakan dalam menyuarakan aspirasi di ranah digital, masyarakat harus didukung dengan literasi digital yang kuat. Dengan begitu, mereka benar benar-benar mengetahui apa yang menjadi haknya.
Namun sebaliknya apabila masyarakat yang belum melek digital, sangat dikhawatirkan dapat memanfaatkan ruang digital dengan hal negatif, salah satu contoh ujaran kebencian.
“Mungkin tidak sengaja, dan hanya ingin menyuarakan suara mereka. Namun, kerena kurangnya melek terhadap dunia digital malah dapat menimbulkan masalah. Dan ketika sudah terkena masalah, mereka hanya bisa mengatakan bahwa mereka hanya menyuarakan hak suara mereka,” ujar Kresna dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator bertajuk “Suara Demokrasi di Ranah Digital”, Kamis (14/4/2022).
Terlebih, kata Kresna, berdasarkan data Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI), Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara dengan pengguna internet yang paling rendah bertata krama atau tidak sopan di dunia.
“Karena berbagai saran dan kritikan yang tidak disaring. Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia yang mempunyai kebebasan berpendapat diharapkan lebih hati-hati dalam mengkritik ataupun menyarakan pendapatnya,” ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Donni Edwin, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia mengatakan, terbukanya ruang-ruang publik atau politik baru yang difasilitasi teknologi digital memang dapat dimanfaatkan sebagai sarana bagi partisipasi (politik) masyarakat dalam urusan-urusan publik atau pengelolaan urusan pemerintahan sehari-hari.
“Kita warga negara Indonesia mempunyai peluang dalam pemanfaatan media digital dalam proses demokrasi. Di mana kita dapat berpartisipasi dalam dunia politik dalam pengelolaan pemerintahan sehari-hari adalah salah satu elemen terpenting dalam demokrasi,” ungkapnya.
Di sisi lain, di dunia digital, terutama dalam hal demokrasi juga ada ancaman dan tantangannya. Misalnya, sebagian pengguna internet yang mempromosikan nilai-nilai dan agenda anti demokrasi, informasi palsu (fake news), berita bohong (hoax), ujaran kebencian semakin mudah dikembangbiakkan dan di diviralkan di media sosial.
“Media sosial sangatlah bermanfaat bagi kita, banyak sekali yang bisa kita peroleh dari media sosial, dengan catatan kita harus bisa menyaring sebuah konten atau berita yang seseorang share. Sebagai netizen yang baik dalam bermedia sosial harus bijak dan hati-hati,” katanya.
Sementara, Samuel, Dirjen Aptika Kemkominfo mengakui indeks literasi digital Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5. Ini artinya masih dalam kategori sedang belum mencapai tahap yang lebih baik. “Angka ini perlu terus kita tingkatkan sehingga menjadi tugas kita bersama untuk membekali masyarakat kita dengan kemampuan litrerasi digital,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Samuel, pihaknya bersama gerakan nasional, litasi digital, cyber kreasi, serta mitra dan jejaringnya memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan digital pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
“Berbagai pelatihan literasi digital yang kami berikan berbasis empat pilar utama, yaitu, kecakapan digital, budaya digital, etika digital dan pemahaman digital. Hingga tahun 2021 tahun program literasi digital ini telah berhasil menjangkau lebih dari 12 juta masyarakat Indonesia,” tutupnya.